ANALISIS STRUKTURAL GENETIK PEMENTASAN DRAMA
“PUTRI MANDALIKA”
Kegiatan mengapresiasi dan mengekspresikan suatu pementasan drama tidak dibatasi, siapapun boleh melakukannya, terutama bagi para pelajar yang menjadi generasi penerus bangsa. Namun wujud dari apresiasi yang dicipratkan setiap individu pastilah berbeda-beda, bergantung dari luasnya pemahaman serta wawasan individu itu sendiri. Pemahaman terhadap pementasan teater yang mencerminkan realitas sosial, tak luput pula dengan pengasupan pemahaman baru bagi masyarakat, mengingat bahwa teater ini bersifat kolektif.
Apresiasi adalah kegiatan menggauli
karya sastra (drama) secara sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan, pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
karya sastra (drama) (Effendi, 2002).
Merujuk dari definisi di atas, apresiasi drama ialah kegiatan menggauli
pementasan drama secara mendalam, baik dengan menggunakan metode dalam
teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli, sehingga menemukan
pemahaman-pemahaman yang yang tersirat dalam pementasan tersebut.
Suatu karya sastra tercipta lebih
merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi, dan rekaman budaya pengarang
terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri, dan masyarakat. Strukturalisme
genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra secara
struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural
dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi (keadaan menuju satu titik
pertemuan) penelitian struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek
eksternal sastra, dimungkinkan lebih demokrat (Endraswara Suwardi, Metodologi
Penelitian Sastra, Yogyakarta, 2003 : 55).
Naskah-naskah
dalam pementasan drama tidak lain adalah sebuah karya sastra. Pementasan teater
merupakan cerminan dari kehidupan manusia, di dalamnya terkandung pesan-pesan
bagi penikmatnya. Pementasan teater
merupakan bentuk visualisasi dari pada teks sastra atau gagasan, dan pada
hakikatnya karya sastra itu tidak lahir dari kekosongan. Karya sastra merupakan
bagian dari masyarakat. Nilai-nilai serta pandangan yang membahana dalam
ruang-ruang kehidupan mempengaruhi suatu karya sastra. Dalam karya sastra pun
tertuang pandangan-pandangan pengarang terhadap kondisi sosial pada masa tertentu.
Segala pandangan yang dicuatkan oleh pengarang melalui karyanya bisa searah
dengan paradigma yang dianut oleh halayak, dan bisa pula mendongkrak sebuah
sisi yang tersirat dibalik sebuah paradigma tersebut.
Menurut
Semi (1984: 2) Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang
objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Berkaitan dengan definisi di
atas, sebagaimana drama dan teater merupakan bagian dari karya sastra yang
mengulas lapis-lapis kehidupan-kehidupan manusia beserta segelintir
problema-problema yang mengekori alur kehidupan manusia. Dalam pertunjukan
teater terpampang watak-watak tiap tokoh yang akan mewakili akan menggambarkan
konflik-konflik sosial yang ada dalam masyarakat.
Naskah
“Puteri Mandalika” yang yang dipentaskan oleh beberapa mahasiswa Program Studi
Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan,
Universitas Mataram merupakan naskah yang diangkat dari cerita rakyat Lombok
Tengah. Dari pementasan tersebut,
mahasiswa lainnya bertugas untuk menganalisis muatan-muatan yang disampaikan
dalam cerita tersebut.
Para
kreator menerapkan teknik serta seni yang berbeda-beda dalam menjajakkan
cerita. Seperti halnya dalam pementasan drama “Putri Mandalika”, Jika kita
memasuki dunia pementasan drama “Puteri Mandalika”, di sana tergambar
realita-realita sosial yang kini mencuat di negeri kita. Penyusun naskah
mengkreasikan cerita aslinya yang sebenarnya bercorak legenda ke dalam nuansa
yang agak kocak dan modern, namun tetap mengandung nilai yang sama. Di sana
digambarkan maraknya antusiasme jiwa-jiwa yang mengacungkan diri untuk menjadi
penguasa, akan tetapi sebagian besar mereka tertarik karena sebatas ingin
menggenggam kekuasaan saja, bukan karena hasutan hati nurani mereka untuk
memakmurkan rakyat. Pengarang menyampaikan bahwa ambisi dan hasutan bukanlah alasan yang tepat untuk dijadikan
landasan utama dalam menjadi pemimpin rakyat, semua itu hanya berarti bahwa
tujuan orang tersebut menjadi pemimpin hanya sekedar ingin memijak mimbar
kekuasaan belaka, bukan untuk melindungi rakyat, akan tetapi rasa cinta yang
tulus terhadap negerilah yang mampu menhidupkan dan memakmurkan rakyat.
Penikmat
diharapkan memperoleh pesan-pesan yang disampaikan dalam suatu pementasan,
tidak hanya sekedar menyaksikan dan menjadikan sarana hiburan dan pengisi waktu
saja. Untuk mengetahui muatan-muatan dalam pementasan tersebut, penulis
menganalis pementasan tersebut
menggunakan tuntunan metode analisis teori struktural genetik, untuk menilik bagaimana
pengunggahan fakta kemanusiaan, subjek kolektif , strukturasi, pandangan dunia
serta pemahaman dan penjelasannya.
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk Mendeskripsikan struktur intrinsik,
mendeskripsikan genetika, mendeskripsikan pandangan dunia, pengarang dan subjek
kolektif dalam pertunjukan “Putri Mandalika”
2.
Pendekatan
-
Definisi Istilah
Jika
dilihat dari asal katanya, teater ini berasal dari bahasa Yunani “theatron”
yang artinya adalah gedung pertunjukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
teater merupakan gedung atau ruangan tempat pertunjukan film, sandiwara, dan
sebagainya.
Pada dasarnya teater memiliki ikatan yang kuat
dengan drama, sebab teater ialah kegiatan memvisualisasikan suatu teks drama.
Dalam teater terdapat pemain-pemain yang akan memerankan tokoh-tokoh dalam
naskah drama yang telah ditentukan oleh sutradara, pertunjukan tersebut
dipentaskan secara eksklusif di depan para penontonnya, pertunjukan bisa
berlangsung di dalam gedung, maupun di luar gedung. Teater merupakan kegiatan
merealisasikan fiktif oleh manusia dengan menggunakan diri atau tubuhnya
sebagai pelakon yang didasari dari sebuah teks drama, yang diunjukkan dalam
sebuah tempat pertunjukan, yang menggunakan
suara, gerak, dan dukungan instrumen pengiring. Teater menggambarkan
kehidupan manusia melalui dialog, emosi dan adegan dalam pementasan.
Teater merupakan realitas fiktif, maksudnya bahwa
teater ini merupakan sebuah pertunjukan yang diangkat dari sebuah naskah atau
teks sastra yang dilakoni langsung di depan penonton. para aktor memainkan
kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor dalam hal ini adalah mengkomunikasikan
ide serta gagasan pengarang secara hidup kepada penonton. Proses ini melibatkan
banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama ide dan gagasan
pengarang, aktor sebagai komunitakor, penata artsitik sebagai orang yang
mewujudkan ide dan gagasan secara visual serta penonton sebagai komunikan. Teater
terkadang juga disebut “drama” atau “sandiwara”. Kata drama berasal dari bahasa
Yunani “dram” yang berarti “gerak”, sedangkan kata sandiwara secara etimologis
berasal dari kata “sandi” (Jawa), yang berarti “rahasia” dan “warah” yang
berarti “ajaran”. Sandiwara secara terminologis berarti “ajaran yang
disampaikan secara rahasia atau tidak terang-terangan”.
Dibandingkan dengan istilah teater, istilah drama
lebih mencuat daripada istilah teater. Hal ini dikarenakan penggunaan sebuah naskah drama di dalam pertunjukan
teater. Dalam arti sempit, teater ialah drama yang dilakoni di atas tempat
pertunjukan yang berpatokan dari naskah drama dan disaksikan langsung oleh
penonton. Sedangkan dalam arti luas, teater adalah segala jenis tontonan yang
ditunjukkan langsung di depan penonton. Sebenarnya istilah
teater merujuk pada
gedung pertunjukan,
sedangkan istilah drama
merujuk pada pertunjukannya, namun
kini kecenderungan orang untuk
menyebut pertunjukan drama
dengan istilah teater.
-
Landasan Teoritis
Strukturalisme
genetik ditemukan oleh Lucien Goldman, seorang filsuf dan sosiolog
Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The
Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pencees of Pascal and the Tragedies
of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali tahun 1956. Strukturalisme
genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan Strukturalisme, yaitu
dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra. Strukturalisme
Genetik sering juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya
sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldmann bermaksud menjembatani
jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan
sosiologi (ekstrinsik).
Goldmann
berpendapat bahwa struktur yang dipercayainya terdapat dalam karya sastra
bukanlah struktur yang statis, melainkan hasil dari proses sejarah yang terus
berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati
oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk: 1999-12).
Menurut Nyoman Khuta Ratna , Strukturalisme
genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap
asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik sekaligus memberikan
perhatian terhadap analisis instrinsik dan ekstrinsik. Secara definitif,
menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis struktur
dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Pencetus teori ini
percaya bahwa sebuah karya adalah struktur yang hidup, merupakan produk dari
proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi
yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal sebuah karya.
Menurut Faruk (2010: 56) konsep dasar yang turut
membangun teori strukturalisme genetik adalah fakta kemanusiaan, subjek
kolektif, strukturasi, pandangan dunia, serta pemahaman dan penjelasan.
Konsep-konsep dasar itu berperan untuk membangun sebuah karya sastra.
Lingkungan sekitar merupakan objek yang bisa dikembangkan oleh seorang
pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra.
Strukturalisme genetik merupakan teori yang
menekankan adanya pemahaman bahwa individu bukanlah makhluk yang bebas. Tapi
paham teori ini menekankan kenyataan individu tetaplah pendukung kelas-kelas
sosial yang dalam masyarakat sehingga teks sastra dianggap sebuah representasi
institusi sosial yang dapat berubah dan sarat pertentangan kelas (Taum dalam
Wahedi, 2010: 13). Strukturalisme
genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra
sebagai struktur. Karena itu usaha strukturalisme genetik memahami karya sastra
secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan struktur karya itu (Hudayat,
2007: 62).
Menurut Faruk (1999:13), strukturalisme genetik
adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan
suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan
hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subyek penciptanya atau subyek
kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi
sosial dan ekonomi tertentu.
Menurut Faruk, (1999:12), fakta kemanusiaan adalah
segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik,
yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Aktivitas atau perilaku manusia
harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu
berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok masyarakat
manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradabtasi dengan lingkungan. Goldmann
(dalam Faruk, 1999:13), menganggap bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya
selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan
tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan
merupakan struktur yang bermakna. Menurut Endraswara (2003:55) semua aktivitas
manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi
tertentu yang merupakan kreasi untuk memodofikasi situasi yang ada agar cocok
dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia memiliki kecenderungan untuk
berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan alam semesta dan
lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat bersifat individu atau
sosial. Menurut Damono (1979:43), untuk
menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial maupun
dalam kenyataannya yang kongkrit membutuhkan sutau metode yang serentak
bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat diketahui bahwa
sastra merupakan cermin dari berbagai segi struktur sosial maupun hubungan
kekeluargaan.
Subjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan
selain subjek individual. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia
sebagai subjek. Pengarang adalah subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karenanya di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan. Semua gagasan
pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok sosial. Oleh sebab
itu pengkajian terhadap karya sastra
tidak dapat dipisahkan dengan pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh.
Menurut Juhl (dalam Iswanto, 2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra
yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya, karena
penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, juga
norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial
tertentu. Subjek kolektif adalah kumpulan individu-individu yang membentuk satu
kesatuan beserta aktivitasnya. Goldmann (dalam Faruk, 1999:15)
menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab
baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah
menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan
yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia.
Mengenai konsep pandangan dunia, Goldmann mengembangkan konsep mengenai pandangan dunia
yang dapat terwujud dalam karya sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur
kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara
bersama-sama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya
dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan dunia (Faruk, 1999a:12). menurut
Goldmann, struktur kemaknaan itu merupakan struktur global yang bermakna dan
mewakili pandangan dunia (vision du monde, world vision). Penulis tidak sebagai
individu, tetapi mewakili golongan (kelas) masyarakat (Satoto, 1986:175). Pada
gilirannya pandangan dunia itulah yang menghubungkan karya sastra dengan
kehidupan masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat turut
mengkondisikan terciptanya karya sastra baik dari segi isi atau segi bentuk dan
strukturnya. Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia itu
sendiri oleh Strukturalisme Genetik dipandang sebagai produk dari hubungan
antara kelompok sosial yang memilikinya dengan situasi sosial dan ekonomi pada
saat tertentu (Goldmann dalam Faruk, 1999:13).
Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003:57)
berpendapat, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan
dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai
anggota masyarakat. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme
genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra
dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang
diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami
secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks
sastra diabaikan begitu saja. Pandangan dunia menurut Goldmann adalah istilah
yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi,
dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota
suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan
kelompok-kelompok sosial lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia
itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang
dihadapi subjek kolektif yang memilikinya.
Langkah-langkah Penelitian dengan Metode
Strukturalisme Genetik yang ditawarkan oleh Laurenson dan Swingewood yang
disetujui oleh Goldman:
a.
Mula-mula diteliti strukturnya untuk membuktikan bagian-bagiannya sehingga
terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
b.
Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra yang
dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan
struktur mental yang dihubungkan dengan dunia pengarang.
c.
Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode
pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik
untuk selanjutnya mencari premis general.
Merujuk
dari langkah-langkah di atas, maka yang akan dilakukan adalah:
1.
Mendeskripsikan struktur intrinsik pertunjukan “Putri Mandalika”
2.
Mendeskripsikan genetika pertunjukan “Putri Mandalika”
3.
Mendeskripsikan pandangan dunia pengarang dan subjek kolektifnya.
3. Hasil Analisis
1. Kajian
Unsur Instrinsik / Bedah Struktur Pertunjukan
-Tema
Menurut penulis, Tema yang diulas dalam pertunjukan
“Puteri Mandalika” adalah tentang cinta dan kepemimpinan. Tema digambarkan
melalui Sang Puteri yang mencintai rakyatnya. Karena ia begitu mencintai
rakyatnya, ia tidak ingin menerima lamaran dari para pangeran manapun, sang
puteri tidak ingin menyatkiti hati siapapun, dan menurutnya pangeran-pangeran
itu datang untuk memenuhi keinginannya sendiri, bukan untuk rakyat, sedangkan Sang
Puteri sangat ingin mencintai untuk menghidupkan dan memakmurkan seluruh
rakyat, ia tidak ingin ada pertumpahdarahan lagi di negeri ini. Ia tidak ingin
jika ia menerima lamaran salah satu pangeran, maka ia akan menyakiti yang
lainnya, dan akan terjadi pertumpahan darah. Ini dapat dilihat dari dialog Sang
Puteri “Aku hanya memikirkan bagaimana seluruh manusia di jagat ini bisa
berdamai dan saling membantu dalam kehidupan dan cinta. Bukankah manusia itu
diciptakan berbeda untuk saling mengenal, saling menenyempurnakan. Bukan saling
menaklukkan apalagi saling menaklukan kanda.” “Aku tidak akan memilih siapapun. Maafkan aku
para pangeran yang perkasa, kuharap kalian bisa menjadi pemimpin yang bijak,
tanpa harus menaklukkan satu sama lainnya. Maafkan aku bila aku pergi
meninggalkan kalian saat ini, namun aku akan hadir setiap tahunnya, karena aku
bukan untuk satu pangeran semata, aku adalah untuk kalian semua, aku adalah
untuk rakyatku, untuk negeriku…”
“Maafkan aku jika aku mengatakan dirimu egois. Saat
aku memintamu untuk memikirkan rakyat, kau justru memikirkan kepentinganmu
sendiri. Dimana kelayakanmu menjadi seorang pemimpin sebuah negeri, bila kau
hanya memikirkan keinginanmu sendiri?”
-
Tokoh dan Penokohan
1.
Puteri Mandalika. Puteri Mandalika
sebagai tokoh protagonis. Puteri Mandalika dalam pertunjukan ini diperankan
oleh lima orang pemain. Puteri Mandalika
berjenis karakter (fisiologi) yang berjenis kelamin perempuan yang cantik
jelita. Berjenis karakter (psikologi) yang sangat mencintai rakyatnya dan
sangat bijaksana. Hal ini terbukti dari dialog sang Puteri “sebagai seorang
raja yang memimpin rakyatnya, sesungguhnya bukan untuk menguasai sesuatu,
tetapi justru sebagai pelaksana terhadap apa yang diinginkan oleh rakyatnya,
dan sebuah negeri terbentuk bukan untuk mengusai negeri lainnya, tetapi untuk
mensejahterakan rakyatnya.”
2.
Pangeran Sawing. Pangeran Sawing
termasuk dalam tokoh deutragonis (mempunyai karakter yang berbentuk flat)
karena dari awal hingga akhir pementasan ia tidak menyerah meminta Puteri
Mandalika untuk menjadi permaisurinya. Tokoh Pangeran Sawing berjenis karakter
(fisiologi) sebagai seorang laki-laki, pangeran muda. Jenis karakter
psikologinya sebagai pangeran yang agak lemah lembut. Hal ini terbukti dari
dialognya yang tidak begitu keras, dan sesekali ia memohon dengan nada lirih
kepada Puteri Mandalika bahwa dia benar-benar mencintai dan ingin mempersunting
Puteri Mandalika. Dapat dilihat dalam cuplikan dialognya “Tapi aku sungguh
mencintaimu, puteri Mandalika”.
3.
Pangeran Lipur. Sama halnya dengan
Pangeran Sawing, merupakan tokoh deutragonis yang memiliki karakter berbentuk
flat, karena dari awal ia masuk hingga akhir sama halnya dengan Pangeran
Sawing, bersikukuh ingin mempersunting Puteri Mandalika. Tokoh Pangeran Lipur berjenis
karakter (fisiologi) sebagai seorang laki-laki muda, berjenis karakter
(psikologi) sebagai seorang pangeran yang gagah perkasa dan keras. Hal ini
terlihat dari dialognya “Rupanya kau belum kenal bagaimana keperkasaanku.
Apakah aku harus menundukkanmu dengan pedangku ini?”
4.
Pengawal Pangeran Sawing. Sebagai
pengawal atau yang berpihak pada
pangeran Sawing, mewakili tokoh PangeranSawing,
yang dapat dibuktikan melalui dialog antara pangeran Sawing dan Si Pengawal
ketika hendak melakukan perlawanan terhadap serangan pengawal pangeran Lipur. “
5. Pengawal
Pangeran Lipur
-
Plot
Pada
pementasan teater Puteri Mandalika, menggunakan alur maju (progresif). Cerita
berawal dari kehadiran Pangeran Sawing yang hendak melamar Sang Puteri, lalu
hadirnya Pangeran Lipur yang juga berkeinginan mempersunting Sang Puteri,
hingga Sang Puteri pada akhirnya memilih
untuk mengakhiri hidupnya, agar semua orang bisa mendapatkannya. Jika dilihat
dari segi kriteria isinya, dalam pementasan Puteri Mandalika menuangkan
pemikiran, perasaan serta keinginan yang ada dalam kehidupan manusia.
-
Setting
Pada
pertunjukan teater Puteri Mandalika ini, berlatar tempat di taman kerajaan
tempat Puteri Mandalika bernaung. Latar waktu dalam cerita ini, menggambarkan
suasana malam hari. Hal ini dapat dibuktikan dengan dialog dari pangeran Sawing
kepada Sang Puteri “Wahai Adinda puteri,
maafkan aku jika aku mengganggumu dalam menikmati suasana malam ini.” Suasana
yang ditunjukkan adalah, di awal cerita, suasana ketenangan yang bercampur
sedih, ini tergambar ketika Sang puteri tengah duduk dan merenung dengan raut
wajah yang sendu dan muram. Lalu suasana tegang ketika hadirnya Pangeran Lipur
di tengah-tengah Puteri Mandalika dan Pangeran Sawing, pangeran Sawing dan
pangeran Lipur beradu pedang karena memperebutkan hati sang puteri. Suasana
lucu atau humor begitu terasa ketika salah seorang puteri Mandalika yang
sebenarnya merupakan pemain laki-laki yang berperan pula sebagai puteri
Mandalika hendak menelerai perkelahian antara pangeran Lipur dan pengawalnya
melawan pangeran Sawing dan pengawalnya, dengan balutan kebaya yang anggun,
tiba-tiba ia menampakkan karakter laki-lakinya. Hingga di akhir cerita,
muncullah suasana sedih, ketika sang puteri memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya, agar tidak ada kekecewaan yang bisa menimbulkan pertumpahan darah,
dan semua orang bisa mendapatkannya.
- Amanat
Amanat yang terkandung dalam lakon Puteri Mandalika ini ialah, yang pertama, sistem kepemimpinan suatu negara hendaknya tidak mengincar-incar dan memanfaatkan kekuasaan untuk menindas negara lainnya, melainkan seharusnya bersama-sama mengumpulkan kekuatan untuk menciptakan perdamaian dunia. Menjadi seorang pemimpin bukanlah untuk menguasai dan mengedepankan pemenuhan kehendak serta kepentingan sendiri, melainkan melaksanakan sesuatu untuk kepentingan rakyat. Hal ini diperoleh dalam perkataan Puteri Mandalika kepada Pangeran Sawing “Sebagai seorang raja yang memimpin rakyatnya, sesungguhnya bukan untuk menguasai sesuatu, tetapi justru sebagai pelaksana terhadap apa yang diinginkan oleh rakyatnya. Sebuah negeri terbentuk bukan untuk menguasai yang lain, tapi sekali lagi untuk mensejahterakan rakyatnya!” dan “Apakah untuk memakmurkan negeri sendiri harus dengan merusak dan menghancurkan negeri lainnya?”
Kedua,
Niat untuk menjadi pemimpin, bukanlah bersatu untuk menguasai dan menindas kelompok
lain, akan tetapi mengumpulkan kekuatan untuk mempersatukan rakyat agar bisa
saling berdamai, saling membantu dalam kehidupan dan cinta, karena pada
hakikatnya manusia diciptakan berbeda untuk saling menyempurnakan, bukan untuk
saling menjatuhkan dan memusnahkan. Ini dapat terlihat dari bagian dialog sang
puteri “Aku hanya memikirkan bagaimana sekuruh manusia di jagat ini bisa
berdamai dsn salinh membantu dalam cinta dan kehidupan. Bukankah manusia
diciptakan berbeda untuk saling mengenal, lalu saling menyempurnakan? Bukan
untuk saling menaklukan, apalagi saling memusnahkan!”
Ketiga,
tersirat amanat bahwa mencintai itu untuk saling menghidupkan, bukan untuk menjatuhkan
yang lain. Hal ini tergambar ketika Pangeran Sawing mengatakan bahwa ia
mencintai Puteri Mandalika, akan tetapi obsesinya akan kekuasaan selalu saja
mengiringi argumennya. Dapat di lihat dalam dialog ini:
Pangeran
Sawing: “Tidak Adinda Puteri, kekuasaanmu tidak akan pudar ditelan zaman, dan
bila kau menjadi permaisuriku, tentunya aku dapat menggabungkan dua buah
kerajaan besar, sehingga kekuasaanku tak akan bisa ditaklukkan oleh kerajaan
manapun di jagat ini.
Puteri
Mandalika: “Oh… sungguh pemikiran yang picik!”
Pangeran
Sawing: “Apa maksud perkataanmu Adinda?”
Puteri
Mandalika: “Apakah semua laki-laki begitu terobsesi dengan kekuasaan? Cinta sesungguhnya
tidak memiliki hubungan dengan penaklukan.
Cinta
adalah kehidupan, sehingga ia menghidupkan manusia yang mengalaminya, bukan untuk
menaklukan, apalagi untuk saling
memusnahkan!”
-
Gaya Bahasa
Dalam
pertunjukan drama “Putri Mandalika”, para pemainnya menggunakan gaya bahasa
Indonesia sehari-hari, hal ini telihat ketika unsur komedinya dicuatkan.
Selebihnya menggunakan bahasa Indonesia yang resmi, Gaya bahasa hiperbola, terlihat
dalam dialog pangeran Sawing yang memuji putri Mandalika “…Sungguh, mereka
tidak bisa melukiskan keelokanmu dan keindahanmu dengan seribu cerita dan
sejuta kata-kata…” “…Sorot pandang matamu seolah membelah dadaku, menusuk-nusuk
jantungku, dan menggetarkan jiwaku…”
-
Pusat Pengisahan
Pusat
pengisahan dari teater ini nampaknya didasarkan dari cerita rakyat Lombok
Tengah, yaitu cerita Putri Mandalika (Nyale). Namun dalam pertunjukan ini
disulap menjadi istimewa, menghibur, lebih kontekstual dan benar-benar memanah
realitas yang tengah bergelimang di masa kini.
2. Hubungan
Karya Sastra dengan Kondisi Sosial
Pertama-tama, jika ditinjau dari segi ekonomi, lakon
Putri Mandalika ini menggambarkan kehidupan ekonomi di Indonesia yang kini
tengah membuat sebagian rakyat menengah dan rendah pontang-panting dan
terpincang-pincang mengikuti segala kebijakan pemerintahan yang katanya untuk
kebaikan rakyat. Dilihat dari kapan
dilakoninya cerita ini, selaras dengan peristiwa kenaikan BBM di tahun 2013
yang nampak menyusahkan sebagian rakyat Indonesia. Hal itu terbukti dengan adanya dialog dari
Pengawal Pangeran Lipur yang menyinggung tentang kenaikan BBM. Di sini
digambarkan bahwa kondisi ekonomi sebagian masyarakat Indonesia semakin
terhimpit dengan kebijakan-kebijakan dalam naungan politik kekuasaan tersebut. Tindak
korupsi semakin lama semakin menjepit kondisi ekonomi sebagian rakyat.
Ditinjau dari segi sosial budaya, dalam lakon Putri
Mandalika digambarkan bahwa dari jaman
dulu hingga sekarang, para pelakon penguasa masih saja memuja-muja kekuasaan,
bahkan sebagian kelompok-kelompok dijadikan tumbal keterobsesiannya untuk tetap
meraih pedang kekuasaan. Perahu kekuasaan di negeri kita ini masih saja
mengapung dalam bejana kebiasaan dan hobi yang ironis. Budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme semakin merajalela di negeri ini. Penggambaran Putri Mandalika yang sangat
mencintai rakyatnya, sangat mengharapkan perdamaian dan manusia hidup dengan
saling mencintai agar saling menghidupkan, mewakili keinginan rakyat yang dari dulu hingga pada saat ini belum
terpenuhi, bahwa yang dibutuhkan oleh rakyat adalah pemimpin yang mau memimpin
karena mencintai negeri dan rakyatnya, bukanlah pemimpin yang hanya ingin
tampil eksis di atas singgasana kekuasaannya. Sehingga dengan kekuatan cinta
itu ia akan berusaha mencari cara dan merangkul satu sama lain untuk menata
bagaimana memperjuangkan kemakmuran rakyat
dan perdamaian di bumi ini, bukan malah mengadopsi obsesi dan keegoisan
kekuasaan semata yang malah mengahancurkan rakyat.
Dilihat dari segi politik, melalui lakon Putri
Mandalika ini digambarkan bahwa, sebagian orang yang sebelum menjadi pemimpin
berdesak-desakkan menaklukkan hati rakyatnya untuk menyandangkan ambisinya
untuk menguasai. Akan tetapi setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan,
mereka mengayuhkan dayung kekuasaan mereka untuk memperluas ambisi pribadinya,
sementara si rakyat terhempas begitu saja didepak dayung sang penguasa. Hal ini
terlihat dari petikan dialog pangeran
Sawing dan Putri Mandalika:
Pangeran
Sawing: “…Dan bila engkau menjadi permaisuriku, tentunya aku dapat menggabungkan
dua buah kerajaan besar, sehingga kekuasaanku
akan bertambah besar, dan tidak akan bisa ditaklukkan
oleh kerajaan manapun di jagat ini.”
Putri
Mandalika: “Oh…sungguh pemikiran yang picik!”
Pangeran
Sawing: “Apa maksud perkataanmu adinda?”
Putri
Mandalika: “Apakah semua laki-laki begitu terobsesi dengan kekuasaan? Cinta sesungguhnya
tidak memiliki hubungan dengan penaklukkan.
Cinta adalah kehidupan, sehingga ia
mampu menghidupi
yang mengalaminya, bukan untuk menaklukkan, apalagi
untuk memusnahkan pihak lain!”
Pangeran
Sawing: “Aku tidak bermaksud menaklukkanmu Adinda Putri, justru saat
ini akulah yang takluk dihadapanmu.
Putri
Mandalika: “Lalu apa maksud Kanda Pangeran dengan memiliki kekuasaan yang
lebih besar, tanpa dapat ditaklukkan oleh kerajaan lainnya?”
Bahkan sisihan hasil jerih payah mereka yang
katanya untuk negeripun tertelan ombak begitu saja, bukannya semakin makmur
negeri ini, malah semakin terpelungkup di bawah gelagat penguasa yang tak
bermodalkan cinta. Selain itu, nampak keprihatinan akan peristiwa perebutan
wilayah antara Indonesia dan Malaysia, peperangan antara Israel dan Palestina yang hingga saat ini masih membuncah, keprihatinan
dan kesedihan karena peristiwa tersebut telah menelan banyak jiwa. Kedua
peristiwa ini yang timbul akibat dari ambisi untuk menguasai. Hal ini diperoleh
melalui petikan dialog Putri Mandalika “Aku tidak menolak lamaranmu, Kanda. Aku
hanya memikirkan, begitu banyak manusia yang telah menjadi korban peperangan
yang terjadi di belahan bumi ini.”
3. Hubungan
Karya Sastra dengan Pandangan dunia
Berkaitan dengan cerita dalam lakon Putri
Mandalika ini, termuat paradigma masyarakat yang sudah berkembang, yaitu
seperti yang kita ketahui bersama bahwa tujuan negara kita adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun dalam cerita ini diperlihatkan
bahwa pada kenyataanya, keempat filosofi yang selalu diikrarkan di tiap-tiap
upacara tersebut berlaku menyimpang pada rana realisasinya. Tangan-tangan
kekuasaan semakin mengikis keempat tujuan mulia tersebut, sementara mulut-mulut
kekuasaannya mengikrarkan namun sekedar berbuih begitu saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2008. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia
Faruk,
Dr. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra.
Jakarta: Pustaka Pelajar
http://ayuniedellblue.wordpress.com/2012/06/17/strukturalisme-genetik/
http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/teori-strukturalisme-genetik/
http://simungilberkreasi.blogspot.com/2012/09/contoh-makalah-apresiasi-drama- indonesia.html
http://siti-lailatus.blogspot.com/2012/12/analisis-naskah-drama-bila-malam.html
http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-seni-teater.html
0 komentar:
Posting Komentar