Kamis, 09 Oktober 2014

1. Musim Semi di Musim Kemarau


Cinta.
Entah seperti apa kini wajah cinta di hidupku. Seingatku, terakhir kali aku menggelutinya ketika aku masih berkecimpung di bangku kelas 2 SMA. Saat itu aku menjalin hubungan yang katanya sih pacaran namanya, dengan salah seorang kakak tingkatku. Entah apa itu pacaran. Aku tidak terlalu perduli. Yang aku tau pada saat itu hatiku bergetar ketika aku tidak sengaja menangkap basah tatapannya terarah padaku. Hubungan aneh itu berjalan begitu mendebarkan, meski kami tidak pernah bepergian berdua. Dia memang sering mengajakku bepergian dan meminta hal-hal yang aneh padaku. Meskipun hatiku berdebar dan penasaran manakala ia mencoba menggodaku dengan permintaan-permintaan anehnya, aku tak kan bisa memberanikan diriku. Tidak bisa. Tidak ada alasan yang logis untuk memenuhinya. Dia masih sangat asing bagiku. Meski aku kerap kali menolak permintaannya, ia mengaku bahwa dirinya tetap menyayangiku. Aku yang sangat labil pun mengiyakannya begitu saja. Jalan sebulan, hubungan kami pun mulai dihinggapi oleh serangga bermuka baja. Serangga baja ini hadir begitu saja membawa celah di antara kami. Serangga ini bukannya tidak tahu akan keberadaanku di sisinya. Di tengah pengetahuannya, ia menjadi penyusup dengan liciknya. Menggoda orang yang aku kasihi. Mulanya sosok yang katanya sayang padaku ini tidak meladeni kehadirannya. Namun lambat laun ia terbuai tanpa sepengetahuanku. Katanya orang-orang zaman sekarang ya selingkuh juga ia dengan serangga baja itu. aku tak beranggapan demikian. Awalnya aku memang merasakan sebongkah kesakitan dan rasa perih karena dikhianati. Tapi kubiarkan mereka melanjutkannya, setelah aku tahu dari kakakku bahwa ternyata serangga baja itu telah memberikan apa yang tidak pernah aku berikan kepada sosok yang katanya menyayangiku.

Beberapa bulan kemudian, aku sudah cukup mampu menyapu bayang-bayang wajah khianat mereka dari layar mindaku. Namun tak kubuka sedikitpun jendela niatku untuk menjelajahi ruang kisah semacam itu lagi. Tak mau. Hubungan aneh yang pernah aku jalani itu masih menyisahkan luka yang sulit kuobati. Hingga masa SMA pun berlalu.

***
Empat tahun kemudian.
Aku melangkah tergopoh-gopoh melawan arus Mahasiswa yang baru saja keluar dari sarangnya. Kuambil posisi PW di bangku panjang di depan ruang dosen, meski jumlah penumpang di kursi  yang panjangnya kira-kira tiga dua setengah meter tersebut lumayan padat. Lalu lalang Mahasiswa di depanku membuat mataku cukup kewalahan menatapnya. Kuputuskan untuk memaku mataku dengan susunan kertas yang berisikan barisan vokal dan konsonan. Novel Karangan Ayu Utami cukup berhasil melayangkan imajinasiku. Meski tak sepenuhnya dapat kujiwai, setidaknya mampu mengalihkan pandanganku dari keramaian di sana.

Tiga menit kemudian, kulirik dari balik pintu ruang dosen, apakah dosen pembimbing skripsiku sudah hadir atau belum.
"Hmmh. Belum datang juga. Oh mungkin beliau masih ngajar ya? Tunggu aja deh." Kulanjutkan penantianku.
Beberapa menit berlalu, aku masih larut dalam cerita Manjali dan Cakrabirawa. Headset pun masih meneriaki pendengaranku dengan lagu kesukaanku, Tonight by Big Bang. Penat. Kukecilkan volume mp3, kasihan penyanyinya pasti berbusa karena dari tadi lagunya diulang-ulang terus. Barulah aku menyadari bahwa ternyata penumpang bangku itu sudah pada turun. Yang tersisa hanya aku. Dan seorang laki-laki di yang possisi duduknya di ujung kanan bangku. Sedangkan aku di ujung kiri bangku. Aktivitasnya sama denganku. Menjelajahi sebuah buku sambil mendengarkan lagu. Sepintas lalu kuperhatikan sosok itu. Rupanya kakak tingkat yang se-prodi denganku. Semester yang lalu, sempat aku memperhatikannya diam-diam. Kepintarannya mengobrak abrik teknologi dan stangkai kacamata yang bertengger di hidung mancungnya mengundang kekagumanku terhadapnya. Namun kekaguman itu tak mau aku lanjutkan. Aku kembali menggelitik ponselku, menambah volume mp3.

Sesaat kemudian datanglah seorang teman laki-lakinya. Dia duduk di tengah kami berdua.sesekali kudengar ia digoda oleh temannya.
"Ehm, yang lagi mojok berdua..."
"Eh? Apaan coba. Siapa yang mojok?"
"Ni kan, kamu sama si..." liriknya kutangkap dengan ujung mataku."
"Alaaah, udah deh ngaku aja."
"Ngaku apaan sih? Udah jangan berisik, orang lagi baca juga."
"Ya deh kalo gitu aku minggat. Gak enak ganggu dua sejoli di sini. Hahahah..." Laki-laki itu pun membiarkan kami berdua lagi. Ia kembali ke habitatnya.
Aku menguping pembicaraan mereka dari awal, meski headset masih terpasang di kedua telingaku, volumenya sudah kuperkecil sebelumnya, sehingga candaan mereka terekam dalam pendengaranku. Mendengar kalimat terakhir dari temannya itu, setelah sekian lama bersemayam dalam ketenangannya, jantungku berdebar tak ker!uan. Aku tak pernah segugup ini. Sehingga lembar buku yang terjepit di tangan kiriku bergetar. Kakak di sampingku itu mungkin tidak mebyadarinya.
Aku berusaha menoleh ke arahnya.Spontan jantungku semakin bertambah kecepatan "berapaacunya, disebabkan tatapanku bertabrakan dengan tatapannya. Sekilat mungkin kuarahkan lagi pandanganku. Kembali menyelami deretan huruf dalam novel yang kupegang. Hanya saja kali ini aku tak benar-benar membacanya. Fikirku berkeliaran tak tentu arah. Aku hanya mampu melontarkan pertanyaan dalam hatiku.
"Ada apa dengan jantung ini? Tiba-tiba saja deg-degan kayak gini. Fiuh! Semoga nggak ada yang merhatiin kalo tadi tanganku gemetaran."
Kakak tingkatku yang entah siapa namanya itu masih saja bertahan di situ. Aku ingin sekali angkat badan dari bangku itu, tapi entah kenapa muncul secercah perasaan bahwa aku senang saat ini. Aku ingin ini berlangsung lama. Kutenangkan diriku."Huuhsh! Apa-apaan aku ini. Jangan mau masuk ke lubang yang sama lagi. Cukup ketika SMA dulu aku berurusan dengan hal-hal seperti ini. Toh juga dia nggak kenal aku."

Cukup lama batinku berdiskusi apkah aku harus meninggalkannya atau aku harus menikmati kesempatan ini? Hingga akhirnya kupaksakan diriku untuk bangkit dari sana.
Kugiring langkahku menuju papan pengumuman yang terpampang di sebelah kiri  ruang dosen, tak cukup jauh dari bangku tadi. Kuperhatikan jadwal mengajar dosen . Ternyata dosen pembimbingku tidak punya jam mengajar hari itu.
" Lalu untuk apa aku nangkring di sini dari tadi?" Bukannya ketemu dosenku malah ketemu hal yang aneh tapi membuatku cukup tertarik untuk mengingatnya.

***

Wajah berhias kacamata itu...
"Ah, begitu jelas terekam di memori otakku." Kutumpahkan kegelisahanku dalam detik-detik menjelang tidur. Raut wajahnya ketika tatapan kami berpapasan. Entah bagaimana keesokannya. Meski aku masih takut-takut kembali menghampiri rona cinta, aku merasa ingin kembali ke bangku itu. Dimana aku dan dia hanya terpisah oleh sentuhan lembut sang angin.
 Diam-diam batinku bertanya, "Akankah ia menjadi tokoh utama dalam kisah cintaku?"." Akh tidak mungkin. Dia pasti tidak akan mengingatku." Entahlah, yang pasti aku merasakan bunga-bunga beterbangan disekelilingku. Ya, di tengah musim kemarau ini, semerbak musim semi membuncah dalam hatiku.Kupadamkan lampu kamarku dan bersiap-siap menjelajahi alam mimpi.
***


0 komentar:

Posting Komentar